Senin, 12 Desember 2016

STUDI KASUS: PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KOTA BATU, MALANG (MAKALAH)

STUDI KASUS: PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KOTA BATU, MALANG
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sosiologi Antropologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Ahmad Faqih, S.Ag., M.Si.



Disusun Oleh:
Fanni Agustina Hidayati         (1401046002)
Wiwit Minatul Hidayah         (1401046008)
Nur Inayati                              (1501046001)
Muhammad Sat Abu Dzarin   (1501046019)
Ainis Shofwah Mufarriha       (1501046031)


PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk penduduk yang terus menerus bertambah setiap tahunnya. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terutama bagi pertumbuhan wilayah kota. [1]Pembangunan pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai dengan tujuan Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 alinea keempat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi. Pembangunan sebagaimana pada umumnya, menjadi sel projected reality yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan. Pembangunan seringkali juga menjadi semacam ideology of developmentalism.
Kesadaran suatu bangsa yang terbentuk melalui pengalamannya, baik pengalaman sukses maupun kegagalan yang dialami amat menentukan interprpetasi mereka tentang pembangunan. Berdasarkan hal itu, maka terjadilah pergeseran paradigma pembangunan. Melalui proses itu, timbullah pergeseran-pergeseran paradigma pembangunan merentang dari paradigma pertumbuhan atau paradigma ekonomi murni, paradigma kesejahteraan, paradigma neo ekonomi, paradigma dependensia sampai ke paradigma  pembangunan manusia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kajian teori mengenai pembangunan berkelanjutan?
2.      Bagaimana analisis yang tepat terhadap kasus pembangunan berkelanjutan kota Batu?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kajian Teori
Secara sederhana menurut Soeryono, paradima pertumbuhan (growth paradigm) merupakan suatu pandangan yang hanyabmemfokuskan pada sektor ekonomi. Paradigma pembangunan ini berhasil meningkatkan akumulasi kapital dan pendapatan perkapita negara-negara berkembang. Namun keberhasilan paradigma ini menyebabkan dampak negatif, hal ini dikarenakan momentum pembangunan dicapai dengan pengorbanan deteorisasi ekologis berupa penyusutan sumberdaya alam, timbulnya kesenjangan sosial dan dependensi.
Dampak negatif yang terjadi terus mengalami akumulasi sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Kehancuran serius pada hutan-hutan di Eropa Barat, terjadinya “oil shock 1983”, kelaparan di benua Afrika, menurunnya kualitas lingkungan di negara-negara tropis, gejala memanasnya bola bumi yang disebabkan efek rumah kaca (green house effect) akibat menipisnya lapisan ozon, menciutnya luas hutan tropis, dan meluasnya gurunl, serta melumernya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan karena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang.
Kesadaran akan krisis lingkungan hidup kemudian melahirkan kesadaran akan konsekuensi transnasional dar pembangunan yang berlebihan. Perhatian kepada kelestarian hutan-hutan tropis di negara-negara miskin mulai menjadi agenda penting dunia. Disinilah kemudian konsep “sustainable” menemukan kelahirannya.[2]
Berdasarkan hal tersebut, maka tercetuslah konsep pembangunan yang mencoba menyeimbangkan sektor-sektor pembangunan, konsep tersebut dinamakan sustainable development adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya.[3]
Di negara berkembang, pembangunan berkelanjutan masih pada tataran konsep yang mulai banyak dikembangkan. Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potnsi pertanian yang cukup besar, sehingga pengembangan pertanian menjadi salah satu strategi dalam pembangguna Indonesia. Dalam rencana strategis tahun 2010-2014 Kementerian Pertanian juga menjelaskan beberapa strategi kebijakan pengembangan pertanian diataranya yaitu peningkatan produksi pertanian.salah satu kebijakan tentang oembangunan pertanian adalah agropolitan yang merupakan program pemerintah yang berdasarkan pada sistem perkotaan modern. Kawasan agropolitan terdiri dari kota pertanian dan desa-desa sentra produk pertanian yang ada disekitarnya. Agropolitan merupakan pendekatan perencanaan pembangunan tipe buttom up yang berkeinginn mencapai kesejahteraan dan pemerataan pendapatan lebih cepat dibanding strategi growth pole.
Sejarah munculnya pembangunan berkelanjutan. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan mulai dipusatkan pda pembangunan berkelanjutan. Awalnya, istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature (1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam buku Building Sustainable Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer melalui laporan Brundtland, Our Common Future (1987).[4]
Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang pada akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Sayangnya, hingga kiniparadigma tersebut tidak banyak di implementasikan, bahkan masih belum dipahami. Salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami yang memuat prinsip-prinsip kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Alasan yang kedua yaitu, paradigma tersebutkembali menegaskan ideologi developmentalisme. Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Jeneiro, tidak lain adalah sebuah kompromi yang mengunggulkan lagi pembangunan, dengan fokus uttama yang berupa pertumbuhan ekonomi. [5]
Cita-cita dan agenda utama pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mensingkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Gagasan dibalik itu adalah, pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai ikatan erat satu sama lain. Dengan kata lain, yang ingin dicapai adalah sebuah integrasi pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup ke dalam arus utama pembangunan nasional agar kedua aspek tersebut mendapatkan perhatian yang sama bobotnya dengan aspek ekonomi. Pembangunan aspek sosial-budaya dan lingkungan hidup tidak boleh dikorbankan demi atas nama pembangunan ekonomi.[6]
Pola developmentalisme yang mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi harus ditinggalkan dan diganti dengan sebuah pendekatan pembangunan yang lebih holistik dan integratif dengan memberi perhatian serius kepada pembangunan sosial-budaya dan lingkungan hidup. Kehancuraj sosial budaya mengakibatkan negara dan masyarakat membayar mahal, bukan saja dalam hitungan nilai finansial melainkan juga dalam bentuk kehancuran kekayaan sosial-budaya dan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Dampak lanjutannya adalah, pertama, terjadi kemiskinan yang semakin mendalam di banyak negara sedang berkembang, tidak saja karena kekayaan sumber daya alamnya terkuras habis untuk membayar utang luar negeri. Kedua, timbul penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin menurun disatu oihak dan dampak dari berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga, kehancuran sumber daya alam dan keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi kehancuran budaya masyarakat disekitarnya yang sangat bergantung lagsung dengan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati tersebut.
Ada tiga prinsip utama pembangunan berkelanjutan. Ketiga prinsip tersebut menjamin agar ketiga aspek diatas dipenuhi, dan dalam arti itu, ketiga aspek pembangunan hanya mungkin dicapai kalau ketiga prinsip dasar ini di operasionalkan sebagai sebuah politik pembangunan.
Pertama, prinsip demokrasi, prinsip ini  menjamin agar pembangunan dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat demi kepentingan bersama seluruh rakyat. Ada beberapa aspek dalam prinsip demokrasi, yaitu.
a.       Agenda utama pembangunan adalah agenda rakyat demi kepentingan rakyat. Pemerintah hanya melaksanakan agenda yang diamanatkan oleh rakyat.
b.      Dalam kaitan dengan hal diatas, partisipasi rakyat dalam merumuskan kebijakan pembangunan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan adalah sebuah keharusan moral dan politik.
c.       Harus ada akses informasi yang jujur dan terbuka tentang agenda pembangunan dan proses perumusan agenda tersebut.
d.      Akuntabilitas publik tentang agenda pembangunan, proses perumusan kebijakan pembangunan dan implementasi pembangunan tersebut.
Kedua, prinsip keadilan, prinsip ini pada dasarnya mau menjamin bahwa semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses pembangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut menikmati hasil-hasil pembangunan.
a.       Prinsip keadilan menuntut agar da perlakuan yang sama bagi semua orang dan kelompok masyarakat.
b.      Prinsip keadilan juga menuntut agar ada distribusi manfaat dan beban secara proporsional antara semua orang dan kelompok masyarakat.
c.       Prinsip keadilan menuntut agar ada peluang yang sama bagi generasi yang akan datang untuk memperoleh manfaat secara proporsional dari sumber daya ekonomi yang ada.
d.      Prinsip keadilan juga menuntut agar kerugian akibat proses pembangunan yang dialami oleh kelompok masyarakat tertentu untuk bisa ditebus.
Ketiga, prinsip keberlanjutan. Prinsip ini mengharuskan kita untuk merancang agenda pembangunan dalam dimensi visioner jangka panjang, untuk melihat dampak pembangunan baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya tidak hanya dalam dimensi jangka pendek.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam usaha pelestarian dan pendayagunaan sumber daya alam, antara lain :
a.       Kait-mengkaitnya sumberdaya alam mengandung pendekatan yang integral dan interdisipliner dalam usaha pelestarian dan usaha pendayagunaan SDA.
b.      Prinsip inoptinum. Tidak ada sumber daya alam, terutama yang hayati, yang bisa berembang dalam suatu lingkungan yang optimum bagi semua faktor yang mempengaruhinya.[7]
Agropolitan berasal dari kata “agro” atau pertanian dan “politan” atau kota yang dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di wilayah pertanian atau pertanian di kawasan kota (Friedman dan Douglass, 1976). Sehingga pengertian agropolitan adalah kota pertania yang tumbuh dan berkembang, mampu melayani, mendorong, menarik, mengelola kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan meningkatkan keterkaitan desa dengan kota. (Departemen Pertanian dalam Iqbal, 2009)[8]
Deptan (2002) mengkonsepsikan lima ukuran indikator keberhasilan program pengembangan kawasan agropolitn, yaitu:
1.      Pendapatan masyarakat dan petani meningkat minimal 5% di kawasan agropolitan
2.      Produktifitas lahan meningkat minimal 5% di kawasan agropolitan
3.      Investasi masyarakat mengingkat minimal 10% di kawasan agropolitan
4.      80% dari kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi, kelompok usaha)
5.      Terciptanya sistem kemitraan yang produktif dan memperoleh keuntungan yang memadai (usaha berlanjut)
Pengembangan kawasan agropolitan memiliki tiga agenda prioritas pembangunan di Jawa Timur tahun 2009-20012 yaitu:
1.      Meningkatkan percepatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berlanjut
2.      Memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan efektifitas penanggulangan kemiskinan dan permeberdayaan ekonomi
3.      Memelihara kualitas dan fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan perubahan peneglolaan sumber daya alam dan penataan ruang[9]
Tujuan pembangunan agropolitan adalah memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah pedesaan yang berpenduduk dengan kepadatan tertentu. Di dalam wilayah agropolitan disediakan berbagai fungsi layanan yang meliputi sarana produksi yang berupa (pupuk, bibit, obat-obatan dan peralatan), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik) serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi). Konsep agropolitan juga memperkenalkan adanya agropolitan distrik, yaitu suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5 sampai 10 km dan dengan jumlah penduduk 50 sampai 150.000 jiwa serta kepadatan penduduk minimal 200 jiwa per kilometer (Bappeda kota Batu, 2012).[10]
B.     Analisis Pelaksanaan Pembanguanan Berkelanjutan (Susrtainable Development) pada Kebijakan Agropolitan
Konsep agropolitan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1990 di Bappenas, tetapi belum banyak di implementasikan di daerah di Indonesia. Namun demikian, apabila dilihat dari tujuan dan sasarannya sudah banyak program lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dalam agropolitan seperti adanya Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Unit Desa (BUUD) pada awal orde baru dapat dipandang sebagai peningkatan aktifitas ekonomi di wilayah pedesaan. Agropolitan merupakan kelanjutan untuk mengoptimalkan hasil-hasil pembangunan kawasan andalan di daerah KSP, KAPET dan kawasan tertinggal.
Pengembangan agropolitan di Indonesia dari awal didesain sebagai suatu gerakan bukan program prioritas atau kebijakan. Program pembangunan agropolitan yang terencana dimulai pada tahun 2002 melibatkan berbagai sektor di delapan provinsi yaitu, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, DI Jogjakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Kalimantan Timur. Menurut Direktorat Pengembangan pemukiman sampai tahun 2010 jumlah kawasan agropolitan yang sudah disepakati sebanyak 312 kawasan. Perkembangan kawasan agro di Jawa Timur tahun 2012, telah diikuti oleh 23 kabupaten dan 1 kota (Batu sebagai kawasan mandiri).
Daerah yang melaksanakan kebijakan agropolitan adalah kota Batu, Malang. Agropolitan juga telah menjadi fungsi kota Batu yang ditetapkan pada Perda Kota Batu Nomor 3 pasal 16 tahun 2004 tentang rencana tata ruang wilayah Kota Batu 2003-2013. Kemudian pada tahun 2007 dibentuk Pokja Agropolitan melalui keputusan walikota Batu. Tahun 2011 agropolitan telah menjadi visi Kota Batu pada Perda Kota Batu Nomor 7  pasal 6 tahun 2011tentang rencana tata ruang wilayah Kota Batu 2010-2030 yang berbunyi Visi penataan Ruang Kota Batu adalah : “Kota Batu sebagai Kota Wisata dan Agropolitan di Jawa Timur”.
Pelaksanaan agropolitan di kota Batu telah berkembang mulai tahun 2001, kota Batu sejak berubah status dari kota Administratif ke kota Madya telah dikatakan oleh Bappenas bahwakota Batu menjadi kawasan agropolitan mandiri. Bekal tersebut kemudian dikembangkan dalah RT dan Rw kota Batu tahun 2003-2013 yang selanjutnya ditetapkan dalam Perda kota Batu nomor 3 tahun 2004. Selanjutnya tahun 2007 dibentuklah POKJA pengembangan kawasan agropolitan sebagai upaya dalam peningkatan kegiatan program pengembangan kawasan agropolitan dan mensinergikan berbagai potensi.
Menurut penjelasan Sariyono selaku Kepala sub Bidang Pariwisata dan Pertanian BAPPEDA kota Batu menjelakan bahwa kebijakan publik sangat tergantung oleh komitmen dari kepala daerah. Oleh karena itu meskipun sejak 2007 telah dibentuk POKJA, namun belum dapat melaksanakan kebijakan agropolitan dengan maksimal karena pada tahun 2007 terjadi peralihan kepala daerah di kota Batu. Kepala daerh terpilih tidak menjadikan agropolitan sebagai visi, melainkan pariwisata sebagai visi kota Batu. Selama tahun 2007 sampai 2011, kebijakan agropolitan di kota Batu berjalan di tempat karena kurang mendapat prioritas. Dinas Pertanian kota Batu juga menjelaskan bahwa selama menjalankan kebijakan, kegiatan untuk menunjang agropolitan harus disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan rutin tahunan dari Dinas Pertanian, belum terdapat prioritas kegiatan guna mendukung agropolitan secara langsung.
Menilai pelaksanaan agropolitan dan kinerja dai POKJA, PKA (Pengembangan Kawasan Agropolitan) yang belum optimal, serta agropolitan yang menjadi visi RT dan RW kota Batu tahun 2010-2030 yang tertuang dalam Perda No. 01/2011, maka pada tahun 2012 ini dibentuklah POKJA, PKA baru agar kedepan sistem kelembagaan agropolitan kota Batu dapat berjalan sesuai ketentuan serta mampu meningkatkan pengembangan kawasan agropolitan.[11]
Menurut kami, sejatinya kota Batu sudah menerapkan Pembangunan Berkelanjutan di bidang agropolitan, yang bergerak dibidang kotr pertanian atau pertanian di kawasan kota. Dimulai pada tahun 2004, pembangunan ini sudah sesuai dengan visi, kebijakan dan aturan yang ditentukan oleh pemerintah. Tujuan dan prinsip telah dibentuk dan dilaksanakan. Namun, karena ada pergantian kepala daerah pada 2007, menyebabkan pembangunan berkelanjutan ini berubah visi menjadi ke arah kota pariwisata, bukan lagi kota agropolitan. Kegiatan penunjang agropolitan kurang mendapat prioritas dan mendapat dukungan sehingga terbengkalai.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agropolitan berasal dari kata “agro” atau pertanian dan “politan” atau kota yang dapat diartikan sebagai kota pertanian atau kota di wilayah pertanian atau pertanian di kawasan kota (Friedman dan Douglass, 1976). Sehingga pengertian agropolitan adalah kota pertania yang tumbuh dan berkembang, mampu melayani, mendorong, menarik, mengelola kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Sejatinya kota Batu sudah menerapkan Pembangunan Berkelanjutan di bidang agropolitan, yang bergerak dibidang kotr pertanian atau pertanian di kawasan kota. Dimulai pada tahun 2004, pembangunan ini sudah sesuai dengan visi, kebijakan dan aturan yang ditentukan oleh pemerintah. Tujuan dan prinsip telah dibentuk dan dilaksanakan. Namun, karena ada pergantian kepala daerah pada 2007, menyebabkan pembangunan berkelanjutan ini berubah visi menjadi ke arah kota pariwisata, bukan lagi kota agropolitan. Kegiatan penunjang agropolitan kurang mendapat prioritas dan mendapat dukungan sehingga terbengkalai.










DAFTAR PUSTAKA
Daldjoeni, 1982, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, Bandung: Alumni.
Dhoni, Siti Khusnul, Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan, Fakuktas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Volume 13, No. 2 November 2012
Hadi, Syamsul dkk, Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan, Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 13, No. 1, Jakarta, januari 2012, ISSN 1441-318X
Keraf, A. Sonny, 2010, Etika Lingkungan Hidup , Jakarta: Kompas Media Nusatara.
Rozikin, M., Analisis Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012






[1] Syamsul Hadi dkk, Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan, Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 13, No. 1, Jakarta, januari 2012, ISSN 1441-318X
[2] M. Rozikin, Analisis Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
[3] M. Rozikin, Analisis Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
[4] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup , (Jakarta: Kompas Media Nusatara, 2010) hlm. 190
[5] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup , (Jakarta: Kompas Media Nusatara, 2010) hlm. 191
[6] Ibid. Hlm. 192
[7] Drs. Daldjoeni, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1982) hlm. 137
[8] Siti Khusnul Dhoni, Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan, Fakuktas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Volume 13, No. 2 November 2012
[9] Siti Khusnul Dhoni, Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan, Fakuktas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Volume 13, No. 2 November 2012
[10] M. Rozikin, Analisis Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
[11] M. Rozikin, Analisis Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012

0 komentar:

Posting Komentar