STUDI KASUS: PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KOTA BATU, MALANG (MAKALAH)
STUDI KASUS: PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN KOTA BATU, MALANG
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sosiologi Antropologi Lingkungan
Dosen Pengampu: Ahmad Faqih, S.Ag., M.Si.
Disusun Oleh:
Fanni Agustina Hidayati (1401046002)
Wiwit Minatul Hidayah (1401046008)
Muhammad Sat Abu Dzarin (1501046019)
Ainis Shofwah Mufarriha (1501046031)
PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam
pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk
penduduk yang terus menerus bertambah setiap tahunnya. Fenomena ini menimbulkan
kekhawatiran terutama bagi pertumbuhan wilayah kota. [1]Pembangunan
pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sesuai
dengan tujuan Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 alinea keempat yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, menciptakan kesejahteraan umum, melindungi
seluruh tumpah darah Indonesia, dan membantu melaksanakan ketertiban dunia dan
perdamaian abadi. Pembangunan sebagaimana pada umumnya, menjadi sel
projected reality yang kemudian menjadi acuan dalam proses pembangunan. Pembangunan
seringkali juga menjadi semacam ideology of developmentalism.
Kesadaran suatu bangsa yang
terbentuk melalui pengalamannya, baik pengalaman sukses maupun kegagalan yang
dialami amat menentukan interprpetasi mereka tentang pembangunan. Berdasarkan
hal itu, maka terjadilah pergeseran paradigma pembangunan. Melalui proses itu,
timbullah pergeseran-pergeseran paradigma pembangunan merentang dari paradigma
pertumbuhan atau paradigma ekonomi murni, paradigma kesejahteraan, paradigma
neo ekonomi, paradigma dependensia sampai ke paradigma pembangunan manusia.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana kajian teori mengenai pembangunan berkelanjutan?
2. Bagaimana analisis yang tepat terhadap kasus pembangunan
berkelanjutan kota Batu?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kajian Teori
Secara sederhana
menurut Soeryono, paradima pertumbuhan (growth paradigm) merupakan suatu
pandangan yang hanyabmemfokuskan pada sektor ekonomi. Paradigma pembangunan ini
berhasil meningkatkan akumulasi kapital dan pendapatan perkapita negara-negara
berkembang. Namun keberhasilan paradigma ini menyebabkan dampak negatif, hal
ini dikarenakan momentum pembangunan dicapai dengan pengorbanan deteorisasi
ekologis berupa penyusutan sumberdaya alam, timbulnya kesenjangan sosial dan
dependensi.
Dampak negatif yang terjadi terus
mengalami akumulasi sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru.
Kehancuran serius pada hutan-hutan di Eropa Barat, terjadinya “oil shock 1983”,
kelaparan di benua Afrika, menurunnya kualitas lingkungan di negara-negara
tropis, gejala memanasnya bola bumi yang disebabkan efek rumah kaca (green
house effect) akibat menipisnya lapisan ozon, menciutnya luas hutan tropis,
dan meluasnya gurunl, serta melumernya lapisan es di Kutub Utara dan Selatan
Bumi dapat dijadikan sebagai indikasi dari terjadinya pencemaran lingkungan
karena penggunaan energi dan berbagai bahan kimia secara tidak seimbang.
Kesadaran akan krisis lingkungan
hidup kemudian melahirkan kesadaran akan konsekuensi transnasional dar
pembangunan yang berlebihan. Perhatian kepada kelestarian hutan-hutan tropis di
negara-negara miskin mulai menjadi agenda penting dunia. Disinilah kemudian
konsep “sustainable” menemukan kelahirannya.[2]
Berdasarkan hal tersebut, maka
tercetuslah konsep pembangunan yang mencoba menyeimbangkan sektor-sektor
pembangunan, konsep tersebut dinamakan sustainable development adalah
suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan
terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan
lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi
yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya.[3]
Di negara berkembang, pembangunan
berkelanjutan masih pada tataran konsep yang mulai banyak dikembangkan.
Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai potnsi pertanian yang cukup
besar, sehingga pengembangan pertanian menjadi salah satu strategi dalam
pembangguna Indonesia. Dalam rencana strategis tahun 2010-2014 Kementerian
Pertanian juga menjelaskan beberapa strategi kebijakan pengembangan pertanian
diataranya yaitu peningkatan produksi pertanian.salah satu kebijakan tentang
oembangunan pertanian adalah agropolitan yang merupakan program pemerintah yang
berdasarkan pada sistem perkotaan modern. Kawasan agropolitan terdiri dari kota
pertanian dan desa-desa sentra produk pertanian yang ada disekitarnya.
Agropolitan merupakan pendekatan perencanaan pembangunan tipe buttom up yang
berkeinginn mencapai kesejahteraan dan pemerataan pendapatan lebih cepat
dibanding strategi growth pole.
Sejarah munculnya pembangunan
berkelanjutan. Sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan mulai dipusatkan
pda pembangunan berkelanjutan. Awalnya, istilah ini muncul dalam World Conservation
Strategy dari the International Union for the Conservation of Nature
(1980), lalu dipakai oleh Lester R. Brown dalam buku Building Sustainable
Society (1981). Istilah tersebut kemudian menjadi sangat populer melalui
laporan Brundtland, Our Common Future (1987).[4]
Tahun 1992 merupakan puncak dari
proses politik, yang pada akhirnya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di
Rio de Janeiro, Brasil, paradigma pembangunan berkelanjutan diterima sebagai
sebuah agenda politik pembangunan untuk semua negara di dunia. Sayangnya,
hingga kiniparadigma tersebut tidak banyak di implementasikan, bahkan masih
belum dipahami. Salah satu sebab dari kegagalan mengimplementasikan paradigma
tersebut adalah, paradigma tersebut kurang dipahami yang memuat prinsip-prinsip
kerja yang menentukan dan menjiwai seluruh proses pembangunan. Alasan yang
kedua yaitu, paradigma tersebutkembali menegaskan ideologi developmentalisme.
Apa yang dicapai di KTT Bumi di Rio de Jeneiro, tidak lain adalah sebuah
kompromi yang mengunggulkan lagi pembangunan, dengan fokus uttama yang berupa
pertumbuhan ekonomi. [5]
Cita-cita dan agenda utama
pembangunan berkelanjutan adalah upaya untuk mensingkronkan, mengintegrasikan,
dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek pembangunan, yaitu aspek ekonomi,
aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Gagasan dibalik itu adalah,
pembangunan ekonomi, sosial-budaya, dan lingkungan hidup harus dipandang
sebagai ikatan erat satu sama lain. Dengan kata lain, yang ingin dicapai adalah
sebuah integrasi pembangunan sosial-budaya dan pembangunan lingkungan hidup ke
dalam arus utama pembangunan nasional agar kedua aspek tersebut mendapatkan
perhatian yang sama bobotnya dengan aspek ekonomi. Pembangunan aspek
sosial-budaya dan lingkungan hidup tidak boleh dikorbankan demi atas nama pembangunan
ekonomi.[6]
Pola developmentalisme yang
mengutamakan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi harus ditinggalkan dan diganti
dengan sebuah pendekatan pembangunan yang lebih holistik dan integratif dengan
memberi perhatian serius kepada pembangunan sosial-budaya dan lingkungan hidup.
Kehancuraj sosial budaya mengakibatkan negara dan masyarakat membayar mahal,
bukan saja dalam hitungan nilai finansial melainkan juga dalam bentuk
kehancuran kekayaan sosial-budaya dan kekayaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup.
Dampak lanjutannya adalah, pertama,
terjadi kemiskinan yang semakin mendalam di banyak negara sedang
berkembang, tidak saja karena kekayaan sumber daya alamnya terkuras habis untuk
membayar utang luar negeri. Kedua, timbul penyakit yang terkait langsung
dengan mutu kehidupan yang semakin menurun disatu oihak dan dampak dari
berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga, kehancuran
sumber daya alam dan keanekaragaman hayati membawa pengaruh langsung bagi
kehancuran budaya masyarakat disekitarnya yang sangat bergantung lagsung dengan
sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati tersebut.
Ada tiga prinsip utama pembangunan
berkelanjutan. Ketiga prinsip tersebut menjamin agar ketiga aspek diatas
dipenuhi, dan dalam arti itu, ketiga aspek pembangunan hanya mungkin dicapai
kalau ketiga prinsip dasar ini di operasionalkan sebagai sebuah politik
pembangunan.
Pertama, prinsip demokrasi, prinsip ini menjamin agar pembangunan dilaksanakan
sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat demi kepentingan bersama
seluruh rakyat. Ada beberapa aspek dalam prinsip demokrasi, yaitu.
a.
Agenda
utama pembangunan adalah agenda rakyat demi kepentingan rakyat. Pemerintah
hanya melaksanakan agenda yang diamanatkan oleh rakyat.
b.
Dalam
kaitan dengan hal diatas, partisipasi rakyat dalam merumuskan kebijakan
pembangunan dan mengimplementasikan kebijakan pembangunan adalah sebuah
keharusan moral dan politik.
c.
Harus
ada akses informasi yang jujur dan terbuka tentang agenda pembangunan dan
proses perumusan agenda tersebut.
d.
Akuntabilitas
publik tentang agenda pembangunan, proses perumusan kebijakan pembangunan dan
implementasi pembangunan tersebut.
Kedua, prinsip keadilan, prinsip ini pada dasarnya mau menjamin
bahwa semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk
ikut dalam proses pembangunan dan kegiatan-kegiatan produktif serta ikut
menikmati hasil-hasil pembangunan.
a.
Prinsip
keadilan menuntut agar da perlakuan yang sama bagi semua orang dan kelompok
masyarakat.
b.
Prinsip
keadilan juga menuntut agar ada distribusi manfaat dan beban secara
proporsional antara semua orang dan kelompok masyarakat.
c.
Prinsip
keadilan menuntut agar ada peluang yang sama bagi generasi yang akan datang
untuk memperoleh manfaat secara proporsional dari sumber daya ekonomi yang ada.
d.
Prinsip
keadilan juga menuntut agar kerugian akibat proses pembangunan yang dialami
oleh kelompok masyarakat tertentu untuk bisa ditebus.
Ketiga, prinsip keberlanjutan. Prinsip ini mengharuskan kita untuk
merancang agenda pembangunan dalam dimensi visioner jangka panjang, untuk
melihat dampak pembangunan baik positif maupun negatif dalam segala aspeknya
tidak hanya dalam dimensi jangka pendek.
Prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan dalam usaha pelestarian dan pendayagunaan sumber daya alam, antara
lain :
a.
Kait-mengkaitnya
sumberdaya alam mengandung pendekatan yang integral dan interdisipliner dalam
usaha pelestarian dan usaha pendayagunaan SDA.
b.
Prinsip
inoptinum. Tidak ada sumber daya alam, terutama yang hayati, yang bisa
berembang dalam suatu lingkungan yang optimum bagi semua faktor yang
mempengaruhinya.[7]
Agropolitan berasal dari kata “agro”
atau pertanian dan “politan” atau kota yang dapat diartikan sebagai kota
pertanian atau kota di wilayah pertanian atau pertanian di kawasan kota
(Friedman dan Douglass, 1976). Sehingga pengertian agropolitan adalah kota
pertania yang tumbuh dan berkembang, mampu melayani, mendorong, menarik,
mengelola kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Tujuan pengembangan kawasan
agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
melalui percepatan pembangunan wilayah dan meningkatkan keterkaitan desa dengan
kota. (Departemen Pertanian dalam Iqbal, 2009)[8]
Deptan (2002) mengkonsepsikan lima
ukuran indikator keberhasilan program pengembangan kawasan agropolitn, yaitu:
1.
Pendapatan
masyarakat dan petani meningkat minimal 5% di kawasan agropolitan
2.
Produktifitas
lahan meningkat minimal 5% di kawasan agropolitan
3.
Investasi
masyarakat mengingkat minimal 10% di kawasan agropolitan
4.
80%
dari kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi, kelompok usaha)
5.
Terciptanya
sistem kemitraan yang produktif dan memperoleh keuntungan yang memadai (usaha
berlanjut)
Pengembangan kawasan agropolitan
memiliki tiga agenda prioritas pembangunan di Jawa Timur tahun 2009-20012
yaitu:
1.
Meningkatkan
percepatan dan pemerataan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berlanjut
2.
Memperluas
lapangan pekerjaan, meningkatkan efektifitas penanggulangan kemiskinan dan
permeberdayaan ekonomi
3.
Memelihara
kualitas dan fungsi lingkungan hidup serta meningkatkan perubahan peneglolaan
sumber daya alam dan penataan ruang[9]
Tujuan pembangunan agropolitan
adalah memasukkan beberapa unsur penting dari gaya hidup kota ke dalam daerah
pedesaan yang berpenduduk dengan kepadatan tertentu. Di dalam wilayah agropolitan
disediakan berbagai fungsi layanan yang meliputi sarana produksi yang berupa
(pupuk, bibit, obat-obatan dan peralatan), sarana penunjang produksi (lembaga
perbankan, koperasi, listrik) serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan,
sarana transportasi). Konsep agropolitan juga memperkenalkan adanya agropolitan
distrik, yaitu suatu daerah perdesaan dengan radius pelayanan 5 sampai 10 km
dan dengan jumlah penduduk 50 sampai 150.000 jiwa serta kepadatan penduduk
minimal 200 jiwa per kilometer (Bappeda kota Batu, 2012).[10]
B.
Analisis Pelaksanaan Pembanguanan Berkelanjutan (Susrtainable
Development) pada Kebijakan Agropolitan
Konsep agropolitan sebenarnya sudah
ada sejak tahun 1990 di Bappenas, tetapi belum banyak di implementasikan di
daerah di Indonesia. Namun demikian, apabila dilihat dari tujuan dan sasarannya
sudah banyak program lain yang terkait secara langsung maupun tidak langsung
dalam agropolitan seperti adanya Koperasi Unit Desa (KUD) dan Badan Usaha Unit
Desa (BUUD) pada awal orde baru dapat dipandang sebagai peningkatan aktifitas
ekonomi di wilayah pedesaan. Agropolitan merupakan kelanjutan untuk
mengoptimalkan hasil-hasil pembangunan kawasan andalan di daerah KSP, KAPET dan
kawasan tertinggal.
Pengembangan agropolitan di
Indonesia dari awal didesain sebagai suatu gerakan bukan program prioritas atau
kebijakan. Program pembangunan agropolitan yang terencana dimulai pada tahun
2002 melibatkan berbagai sektor di delapan provinsi yaitu, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jawa Barat, DI Jogjakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan
Kalimantan Timur. Menurut Direktorat Pengembangan pemukiman sampai tahun 2010
jumlah kawasan agropolitan yang sudah disepakati sebanyak 312 kawasan.
Perkembangan kawasan agro di Jawa Timur tahun 2012, telah diikuti oleh 23 kabupaten
dan 1 kota (Batu sebagai kawasan mandiri).
Daerah yang melaksanakan kebijakan
agropolitan adalah kota Batu, Malang. Agropolitan juga telah menjadi fungsi
kota Batu yang ditetapkan pada Perda Kota Batu Nomor 3 pasal 16 tahun 2004
tentang rencana tata ruang wilayah Kota Batu 2003-2013. Kemudian pada tahun
2007 dibentuk Pokja Agropolitan melalui keputusan walikota Batu. Tahun 2011
agropolitan telah menjadi visi Kota Batu pada Perda Kota Batu Nomor 7 pasal 6 tahun 2011tentang rencana tata ruang
wilayah Kota Batu 2010-2030 yang berbunyi Visi penataan Ruang Kota Batu adalah
: “Kota Batu sebagai Kota Wisata dan Agropolitan di Jawa Timur”.
Pelaksanaan agropolitan di kota Batu
telah berkembang mulai tahun 2001, kota Batu sejak berubah status dari kota
Administratif ke kota Madya telah dikatakan oleh Bappenas bahwakota Batu
menjadi kawasan agropolitan mandiri. Bekal tersebut kemudian dikembangkan dalah
RT dan Rw kota Batu tahun 2003-2013 yang selanjutnya ditetapkan dalam Perda
kota Batu nomor 3 tahun 2004. Selanjutnya tahun 2007 dibentuklah POKJA
pengembangan kawasan agropolitan sebagai upaya dalam peningkatan kegiatan
program pengembangan kawasan agropolitan dan mensinergikan berbagai potensi.
Menurut penjelasan Sariyono selaku
Kepala sub Bidang Pariwisata dan Pertanian BAPPEDA kota Batu menjelakan bahwa
kebijakan publik sangat tergantung oleh komitmen dari kepala daerah. Oleh
karena itu meskipun sejak 2007 telah dibentuk POKJA, namun belum dapat
melaksanakan kebijakan agropolitan dengan maksimal karena pada tahun 2007
terjadi peralihan kepala daerah di kota Batu. Kepala daerh terpilih tidak
menjadikan agropolitan sebagai visi, melainkan pariwisata sebagai visi kota
Batu. Selama tahun 2007 sampai 2011, kebijakan agropolitan di kota Batu
berjalan di tempat karena kurang mendapat prioritas. Dinas Pertanian kota Batu
juga menjelaskan bahwa selama menjalankan kebijakan, kegiatan untuk menunjang
agropolitan harus disesuaikan dengan kegiatan-kegiatan rutin tahunan dari Dinas
Pertanian, belum terdapat prioritas kegiatan guna mendukung agropolitan secara
langsung.
Menilai pelaksanaan agropolitan dan
kinerja dai POKJA, PKA (Pengembangan Kawasan Agropolitan) yang belum optimal,
serta agropolitan yang menjadi visi RT dan RW kota Batu tahun 2010-2030 yang
tertuang dalam Perda No. 01/2011, maka pada tahun 2012 ini dibentuklah POKJA,
PKA baru agar kedepan sistem kelembagaan agropolitan kota Batu dapat berjalan
sesuai ketentuan serta mampu meningkatkan pengembangan kawasan agropolitan.[11]
Menurut kami, sejatinya kota Batu
sudah menerapkan Pembangunan Berkelanjutan di bidang agropolitan, yang bergerak
dibidang kotr pertanian atau pertanian di kawasan kota. Dimulai pada tahun
2004, pembangunan ini sudah sesuai dengan visi, kebijakan dan aturan yang
ditentukan oleh pemerintah. Tujuan dan prinsip telah dibentuk dan dilaksanakan.
Namun, karena ada pergantian kepala daerah pada 2007, menyebabkan pembangunan
berkelanjutan ini berubah visi menjadi ke arah kota pariwisata, bukan lagi kota
agropolitan. Kegiatan penunjang agropolitan kurang mendapat prioritas dan
mendapat dukungan sehingga terbengkalai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Agropolitan berasal dari kata “agro”
atau pertanian dan “politan” atau kota yang dapat diartikan sebagai kota
pertanian atau kota di wilayah pertanian atau pertanian di kawasan kota
(Friedman dan Douglass, 1976). Sehingga pengertian agropolitan adalah kota
pertania yang tumbuh dan berkembang, mampu melayani, mendorong, menarik,
mengelola kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Sejatinya kota Batu sudah menerapkan
Pembangunan Berkelanjutan di bidang agropolitan, yang bergerak dibidang kotr
pertanian atau pertanian di kawasan kota. Dimulai pada tahun 2004, pembangunan
ini sudah sesuai dengan visi, kebijakan dan aturan yang ditentukan oleh
pemerintah. Tujuan dan prinsip telah dibentuk dan dilaksanakan. Namun, karena
ada pergantian kepala daerah pada 2007, menyebabkan pembangunan berkelanjutan
ini berubah visi menjadi ke arah kota pariwisata, bukan lagi kota agropolitan.
Kegiatan penunjang agropolitan kurang mendapat prioritas dan mendapat dukungan
sehingga terbengkalai.
DAFTAR PUSTAKA
Daldjoeni, 1982, Pedesaan,
Lingkungan dan Pembangunan, Bandung: Alumni.
Dhoni, Siti Khusnul, Implementasi
Kebijakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan, Fakuktas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Volume 13, No. 2 November 2012
Hadi, Syamsul dkk, Model
Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan, Jurnal
Teknik Lingkungan Vol. 13, No. 1, Jakarta, januari 2012, ISSN 1441-318X
Keraf, A. Sonny, 2010, Etika Lingkungan Hidup , Jakarta:
Kompas Media Nusatara.
Rozikin, M., Analisis Pelaksanaan
Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya Malang,
Volume 2, No. 2, Desember 2012
[1] Syamsul Hadi
dkk, Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru
Berkelanjutan, Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 13, No. 1, Jakarta, januari
2012, ISSN 1441-318X
[2] M. Rozikin, Analisis
Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya
Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
[3] M. Rozikin, Analisis
Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya
Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
[4] A. Sonny
Keraf, Etika Lingkungan Hidup , (Jakarta: Kompas Media Nusatara, 2010)
hlm. 190
[6] Ibid.
Hlm. 192
[7] Drs.
Daldjoeni, Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1982)
hlm. 137
[8] Siti Khusnul
Dhoni, Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan,
Fakuktas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Volume 13, No. 2
November 2012
[9] Siti Khusnul
Dhoni, Implementasi Kebijakan Program Pengembangan Kawasan Agropolitan,
Fakuktas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya Malang, Volume 13, No. 2
November 2012
[10] M. Rozikin, Analisis
Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya
Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
[11] M. Rozikin, Analisis
Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan di Kota Batu, Universitas Brawijaya
Malang, Volume 2, No. 2, Desember 2012
0 komentar:
Posting Komentar